Beli baju. Beli sepatu. Beli celana. Beli sandal. Semua itu adalah hal yang paling menyebalkan buatku. Membuatku tersiksa dan menderita. Itu sebabnya aku paling malas melakukan hal ini. Keliling-keliling toko. Kegiatan ini kalo dilakukan sering-sering bisa menurunkan berat badan hingga separuhnya, serem kan?! Milih-milih baju, celana, kaos oblong, kaos kaki dan lain sebagainya. Tapi yah apa boleh buat. Penampilanku, kata Kubil akhir-akhir ini udah amat memprihatinkan. Liat sepatu. Udah bulukan gitu. Disemir satu ember pun nggak bakalan naik derajat. Kemeja, celana. Warnanya udah banyak yang kusam.
Kukira paling tinggal 4 setel pakaianku yang masih lumayan.
Kalo aku sih nggak peduli. Tapi kasihan temen-temen. Mereka bisa risih kalo jalan ama aku. Dan kantor. Apa kata orang nanti tentang KPP. Kantor bisa turun wibawa pasang pegawai gembel di ruangannya yang mengkilap dan wangi… Jadi kau paham kan? Ini, bukan semata persoalan pribadi. Ini juga bukan sekedar kesadaran sosial. Ini tentang wibawa kantor, terlebih jauh ini menyangkut wibawa negara… Jadi aku tak boleh egois!
Kukira paling tinggal 4 setel pakaianku yang masih lumayan.
Kalo aku sih nggak peduli. Tapi kasihan temen-temen. Mereka bisa risih kalo jalan ama aku. Dan kantor. Apa kata orang nanti tentang KPP. Kantor bisa turun wibawa pasang pegawai gembel di ruangannya yang mengkilap dan wangi… Jadi kau paham kan? Ini, bukan semata persoalan pribadi. Ini juga bukan sekedar kesadaran sosial. Ini tentang wibawa kantor, terlebih jauh ini menyangkut wibawa negara… Jadi aku tak boleh egois!
Sesuai dengan tuntutan harmoni yang pernah diajarkan Kubil. Kalo beli celana aku selalu memadankan dengan kemeja. Biar enak dilihat. Emang Kubil itu lumayan juga seleranya.
Maka harian itu aku habis mengudek-udek toko baju. Ngeborong ceritanya. Beli celana 7 potong. Otomatis atasannya juga, kemeja dan kaus juga harus tujuh. Celana pendek tiga. Trening buat olahraga satu. Sepatu kantor dua pasang. Sepatu olahraga sepasang. Sendal juga dua pasang. Jaket nggak ketinggalan. Kaos dalam. Celana dalam. Saputangan. Handuk. Persis. Persis banget kayak orang habis kemalingan.
Cukup kau tau, aku sudah lupa tahun kapan terakhir aku belanja. Rasanya sudah berabad-abad silam.
Ok, ini bagian yang paling pelik! Beli sepatu. Diantara sepatu dengan model yang begitu banyak itu. Mulai dari yang klasik ampe yang mutakhir. Nggak satupun yang menarik hatiku. Jika ada model yang lumayan berkesan, begitu dicoba ukurannya nggak pas. Sepatu itu kau tau, sungguh sialan akar 13 pangkat 1/3 dikali 0.125 dibagi 9 kerjakan dalam waktu 35 detik—mampus koen, bernomer sama tapi jarang yang pas. Semuanya salah. Semuanya norak. Akh atau sebetulnya aku yang norak.
Barangkale…hehehe…
Aku mau sepatu warna hitam. Dari kulit bukan sintetis. Nggak berat. Hak alasnya sedang. Nggak kayak mesin giling tapi juga nggak kayak triplek. Nyaman di kaki. Nyaman di hati. Nggak bikin bau biar nggak pernah nyuci kaos kaki. Polos tanpa hiasan, tanpa tali—kecuali sepatu olahraga aku benci sepatu dengan tali, merepotkan dan nggak praktis. Kalo perlu tanpa merk.
Tentu aja nggak ada kampungan! “Kecuali lo pesen di neraka sana!” mungkin begitu kalo pramuniaganya kutanya.
Pada akhirnya, seperti Xi Han Wen yang gigih, setelah menanyai adakah sepatu bersayap 9 untuk pergi ke nirwana--*ngaco banget. Dan dilempar keluar dari lantai 5 pagoda Liefeng. Akhirnya pejuang menyerah dan memilih sepatu yang didisplay di rak aja. Ternyata itupun tidaklah mudah. Setelah mengaduk-aduk toko-toko sepatu, dibawah pelototan sang pramuniaga dengan seribu satu syakwasangkanya, akhirnya perjuanganku nggak sia-sia. Yah nggak persis sama dengan yang aku inginkan. Tapi paling nggak aku menemukan yang mendekati. Kubeli dua pasang dengan harapan semoga satu sepatu bisa bertahan minimal dua tahun. Jadi aku bisa lepas dari ‘nightmare lookin 4 shoes’ paling nggak selama empat tahun—watdeheck?!
Ampun.
Ampun.
Cape!
Biarlah paling nggak untuk satu setengah tahun kedepan aku nggak akan diganggu kegiatan menjengkelkan ini lagi. Satu setengah tahun? Bandingkan dengan Marbud Sasongko yang minimal setiap bulan belanja tiga setel pakaian. Mungkin betapa mengerikannya isi lemariku di mata Mister Marbud Sasongko yah…?
Aku memang payah dalam hal berbusana. Aku lebih sering beli buku daripada beli baju. Yang walo udah banyak baca nggak pinter-pinter—malah perasaan makin bego aja. Tapi aku nggak kapok-kapok.
Kalau dihitung pake sipoa, aku punya celana nggak lebih dari sepuluh. Apalagi Kalo dihitung pake metode nyimpleng mungkin hasilnya lebih parah lagi. Dan kemeja—itu udah termasuk batik yang merupakan baju wajib kondangan. Itu udah termasuk pakaian kantor. Jadi Diantara anak-anak kos mungkin lemarikulah yang paling ringkas.
Begitu beli yang baru. Biasanya yang lama segera kuenyahkan. Biasanya sih kusumbangkan. Eh maksudku kukasihkan ke orang yang mau—malu aku pake istilah menyumbang. Kalo menyumbang kan seharusnya yang terbaik, bukan dengan pakaian yang walo masih layak dipake tapi udah tak diinginkan.
Untunglah kantorku nggak kayak pemda yang mewajibkan seragam. Andai kantorku seragam. Mungkin bajuku lebih sedikit lagi.
Kadang aku nggak mengerti kenapa Mr. Marbud Sasongko hobi sekali belanja. Dia itu kalo pilih baju ya ampun. Satu setel baju aja dibanding orang pup tujuh belas kali juga masih kala lama dah. Aku baru nemuin ada cowok scrutin kronis begitu. Selama ini gue merasa Kubil aja udah keterlaluan. Ternyata ada lagi yang lebih parah. Bahkan Jhon Bayu cowok metro versi kos-kosan pun, tewas. Yah begitulah. Orang punya hobi yang aneh. Aku harus memaklumi.
Ngoceh soal hobi, hobiku sendiri apa yah?
Rasa-rasanya aku nggak punya hobi yang mengakibatkanku mengoleksi sesuatu. Dulu sih iya, aku sering beli kaset. Tapi itu dah bertahun-tahun lalu nggak. Udah berenti. Lagipula jaman kaset juga udah lewat. Mungkin koleksi buku kali yah. Nggak terasa. Kebiasaan beli buku nyaris membuatku bangkrut. Kalo ditimbang udah berapa ton?
….
"Kamu pura-pura tanyain kek"
"Apa?"
"Ini" Kata si lelaki "Ini!" Sambil menarik ujung kemeja. "Buset dah" Seru si lelaki. "Baju baru! kamu tau nggak? Biar seluruh dunia nggak tau. Tapi kamu harus tau!"
Dia, si perempuan berbando hitam, malah ketawa terkekeh-kekeh. "Freak!" Tukasnya. " Itu pasti nggak akan dicuci seminggu"
"Biar awet nggak usah dicuci. Diangin-anginin aja kali yah" Tukas si lelaki.
"Idiiiih" Wajah si perempuan membayangkan sesuatu yang lebih menyeramkan daripada pocong ngesot bunuh diri. “Aku harus siapin masker ama tabung oksigen"
"Sudah berapa kali ta’ bilang. Supaya asma kamu nggak kambuh, kamu harus makan sate kadal. Nggak perlu pake bawa tabung oksigen"
Si perempuan menyarangkan tinju bintang selatan ke lengan si lelaki. Si lelaki meringis kesakitan.
"Lho-lho. Ini juga baru lho…" Tangan si lelaki melesak masuk ke saku celana lalu memunjungkan tangan dari dalam saku. "Juga ini" Dia menghentakkan kaki. Sendal maksudnya. Berharap mahluk di depannya mengerti.
"Ini juga baru"
Dia, perempuan itu, menarik jaket katunnya yang berwarna krem terprovokasi. "Baru dicuci" Dia terkekeh sendiri.
Berdua terpingkal-pingkal. Begitulah ketika kedewasaan tersingkirkan. Setidak-tidaknya itu memberi sebuah jeda pada kepenatan pikiran. Dia lebih suka semuanya mengalir tanpa bisa diterka atau merasa perlu direkayasa.
"aku tak mau jikalau aku dimadu. pulangkan aku ke rumah orang tuaku…" seorang waria dengan kicrikannya melantunkan lagu dengan suaranya yang ngebas. Sebagai bonus sang waria meliuk-liukan tubuhnya kepada pemilik warung yang memberinya receh.
"Kamu kalo saya madu. Jangan sampai kayak gitu, yah…" Tukas si lelaki
Mata indah mahluk di depannya berubah jadi koala…. Klik! Klik! Klik! – abadilah momen itu...(ks'ti)
Maka harian itu aku habis mengudek-udek toko baju. Ngeborong ceritanya. Beli celana 7 potong. Otomatis atasannya juga, kemeja dan kaus juga harus tujuh. Celana pendek tiga. Trening buat olahraga satu. Sepatu kantor dua pasang. Sepatu olahraga sepasang. Sendal juga dua pasang. Jaket nggak ketinggalan. Kaos dalam. Celana dalam. Saputangan. Handuk. Persis. Persis banget kayak orang habis kemalingan.
Cukup kau tau, aku sudah lupa tahun kapan terakhir aku belanja. Rasanya sudah berabad-abad silam.
Ok, ini bagian yang paling pelik! Beli sepatu. Diantara sepatu dengan model yang begitu banyak itu. Mulai dari yang klasik ampe yang mutakhir. Nggak satupun yang menarik hatiku. Jika ada model yang lumayan berkesan, begitu dicoba ukurannya nggak pas. Sepatu itu kau tau, sungguh sialan akar 13 pangkat 1/3 dikali 0.125 dibagi 9 kerjakan dalam waktu 35 detik—mampus koen, bernomer sama tapi jarang yang pas. Semuanya salah. Semuanya norak. Akh atau sebetulnya aku yang norak.
Barangkale…hehehe…
Aku mau sepatu warna hitam. Dari kulit bukan sintetis. Nggak berat. Hak alasnya sedang. Nggak kayak mesin giling tapi juga nggak kayak triplek. Nyaman di kaki. Nyaman di hati. Nggak bikin bau biar nggak pernah nyuci kaos kaki. Polos tanpa hiasan, tanpa tali—kecuali sepatu olahraga aku benci sepatu dengan tali, merepotkan dan nggak praktis. Kalo perlu tanpa merk.
Tentu aja nggak ada kampungan! “Kecuali lo pesen di neraka sana!” mungkin begitu kalo pramuniaganya kutanya.
Pada akhirnya, seperti Xi Han Wen yang gigih, setelah menanyai adakah sepatu bersayap 9 untuk pergi ke nirwana--*ngaco banget. Dan dilempar keluar dari lantai 5 pagoda Liefeng. Akhirnya pejuang menyerah dan memilih sepatu yang didisplay di rak aja. Ternyata itupun tidaklah mudah. Setelah mengaduk-aduk toko-toko sepatu, dibawah pelototan sang pramuniaga dengan seribu satu syakwasangkanya, akhirnya perjuanganku nggak sia-sia. Yah nggak persis sama dengan yang aku inginkan. Tapi paling nggak aku menemukan yang mendekati. Kubeli dua pasang dengan harapan semoga satu sepatu bisa bertahan minimal dua tahun. Jadi aku bisa lepas dari ‘nightmare lookin 4 shoes’ paling nggak selama empat tahun—watdeheck?!
Ampun.
Ampun.
Cape!
Biarlah paling nggak untuk satu setengah tahun kedepan aku nggak akan diganggu kegiatan menjengkelkan ini lagi. Satu setengah tahun? Bandingkan dengan Marbud Sasongko yang minimal setiap bulan belanja tiga setel pakaian. Mungkin betapa mengerikannya isi lemariku di mata Mister Marbud Sasongko yah…?
Aku memang payah dalam hal berbusana. Aku lebih sering beli buku daripada beli baju. Yang walo udah banyak baca nggak pinter-pinter—malah perasaan makin bego aja. Tapi aku nggak kapok-kapok.
Kalau dihitung pake sipoa, aku punya celana nggak lebih dari sepuluh. Apalagi Kalo dihitung pake metode nyimpleng mungkin hasilnya lebih parah lagi. Dan kemeja—itu udah termasuk batik yang merupakan baju wajib kondangan. Itu udah termasuk pakaian kantor. Jadi Diantara anak-anak kos mungkin lemarikulah yang paling ringkas.
Begitu beli yang baru. Biasanya yang lama segera kuenyahkan. Biasanya sih kusumbangkan. Eh maksudku kukasihkan ke orang yang mau—malu aku pake istilah menyumbang. Kalo menyumbang kan seharusnya yang terbaik, bukan dengan pakaian yang walo masih layak dipake tapi udah tak diinginkan.
Untunglah kantorku nggak kayak pemda yang mewajibkan seragam. Andai kantorku seragam. Mungkin bajuku lebih sedikit lagi.
Kadang aku nggak mengerti kenapa Mr. Marbud Sasongko hobi sekali belanja. Dia itu kalo pilih baju ya ampun. Satu setel baju aja dibanding orang pup tujuh belas kali juga masih kala lama dah. Aku baru nemuin ada cowok scrutin kronis begitu. Selama ini gue merasa Kubil aja udah keterlaluan. Ternyata ada lagi yang lebih parah. Bahkan Jhon Bayu cowok metro versi kos-kosan pun, tewas. Yah begitulah. Orang punya hobi yang aneh. Aku harus memaklumi.
Ngoceh soal hobi, hobiku sendiri apa yah?
Rasa-rasanya aku nggak punya hobi yang mengakibatkanku mengoleksi sesuatu. Dulu sih iya, aku sering beli kaset. Tapi itu dah bertahun-tahun lalu nggak. Udah berenti. Lagipula jaman kaset juga udah lewat. Mungkin koleksi buku kali yah. Nggak terasa. Kebiasaan beli buku nyaris membuatku bangkrut. Kalo ditimbang udah berapa ton?
….
"Kamu pura-pura tanyain kek"
"Apa?"
"Ini" Kata si lelaki "Ini!" Sambil menarik ujung kemeja. "Buset dah" Seru si lelaki. "Baju baru! kamu tau nggak? Biar seluruh dunia nggak tau. Tapi kamu harus tau!"
Dia, si perempuan berbando hitam, malah ketawa terkekeh-kekeh. "Freak!" Tukasnya. " Itu pasti nggak akan dicuci seminggu"
"Biar awet nggak usah dicuci. Diangin-anginin aja kali yah" Tukas si lelaki.
"Idiiiih" Wajah si perempuan membayangkan sesuatu yang lebih menyeramkan daripada pocong ngesot bunuh diri. “Aku harus siapin masker ama tabung oksigen"
"Sudah berapa kali ta’ bilang. Supaya asma kamu nggak kambuh, kamu harus makan sate kadal. Nggak perlu pake bawa tabung oksigen"
Si perempuan menyarangkan tinju bintang selatan ke lengan si lelaki. Si lelaki meringis kesakitan.
"Lho-lho. Ini juga baru lho…" Tangan si lelaki melesak masuk ke saku celana lalu memunjungkan tangan dari dalam saku. "Juga ini" Dia menghentakkan kaki. Sendal maksudnya. Berharap mahluk di depannya mengerti.
"Ini juga baru"
Dia, perempuan itu, menarik jaket katunnya yang berwarna krem terprovokasi. "Baru dicuci" Dia terkekeh sendiri.
Berdua terpingkal-pingkal. Begitulah ketika kedewasaan tersingkirkan. Setidak-tidaknya itu memberi sebuah jeda pada kepenatan pikiran. Dia lebih suka semuanya mengalir tanpa bisa diterka atau merasa perlu direkayasa.
"aku tak mau jikalau aku dimadu. pulangkan aku ke rumah orang tuaku…" seorang waria dengan kicrikannya melantunkan lagu dengan suaranya yang ngebas. Sebagai bonus sang waria meliuk-liukan tubuhnya kepada pemilik warung yang memberinya receh.
"Kamu kalo saya madu. Jangan sampai kayak gitu, yah…" Tukas si lelaki
Mata indah mahluk di depannya berubah jadi koala…. Klik! Klik! Klik! – abadilah momen itu...(ks'ti)
4 comments:
hakhakhak...you know, rang. lo manusia teraneh yg pernah ada
salah satu keajaiban alumni prodip stan yg harus dilestarikan ...
disorder
manic depresif
mysanthropy
schizoprenia
kek nya psikiater pun nyerah lo debatin trus...
but. nggak ada lo ngga rame!
hai, haaaai..
akuuuuu gak suka belanja bajuuu..
akar 13 pangkat 1/3 dikali 0.125 dibagi 9 kerjakan dalam waktu 35 detik... wkwkwk...
GUE TAU TUH TPA EMANG NAJIS KUADRAT, RANG ALOKASI WAKTUNYA. SUMPAH ... SUSAH AMAT YA KALO MO DPT S2 YG GRATISAN DI LUAR NEGARA INI....
wow, kekna dl pernah nemu blog ini di intra ...
salam kenal ..
mampir2 y
Post a Comment