barangkali hanya batu yang melawaninya bicara. yang mengangguk dalam bisu. yang menggeleng diam. saat diserunya langit, di petang yang telentang. dipupus hari yang kerontang.
dia menghitung nama, yang tersebut sejak kali pertama terjaga. yang teringat-lupa apakah pernah ada
senja menganyam gelisahnya. menyulam sajak-sajak yang pernah tertuang di bukubuku bambu. dan, dia melihatnya turun di jembatan pelangi. bersama iringan sayap kupukupu. yang melantunkan tasbih jutaan bidadari.
dia menghitung nama, yang tersebut sejak kali pertama terjaga. yang teringat-lupa apakah pernah ada
senja menganyam gelisahnya. menyulam sajak-sajak yang pernah tertuang di bukubuku bambu. dan, dia melihatnya turun di jembatan pelangi. bersama iringan sayap kupukupu. yang melantunkan tasbih jutaan bidadari.
"sosok itukah yang kukenal?" Tanyanya sendiri.
yang kali-berkali dipanggilnya tida sekali menyahut. yang berjuta simpul rindu mengail tiada jua bertaut. yang berkalikali berharap hingga sekarat. kemanakah gerangan dia pergi? waktu melindapkan dari manik matanya. hingga kesempatan hengkang dari pagi dan petangnya.
"kaukah, sekuntum rindu?"
"aku mengenang senyummu meski kalah tiada berhenti. aku menanti suaramu, hingga semua kata tak terdengar lagi. aku merindu tatapmu hingga semua biji-biji hujan yang luruh, mati"
barangkali hanya batu yang menemaniku bicara. yang mengangguk dalam beku, yang menggeleng dalam bisu.
senja merenggang. hilang dikatup tirai malam. kegelapan menyantap hatinya. menggelandang rindunya. mengarungi malam-malam liar tak bertuan. malam bengis yang merepuhkan sepi hingga jera menyalak lagi ~k'sati,kemanggisan~
yang kali-berkali dipanggilnya tida sekali menyahut. yang berjuta simpul rindu mengail tiada jua bertaut. yang berkalikali berharap hingga sekarat. kemanakah gerangan dia pergi? waktu melindapkan dari manik matanya. hingga kesempatan hengkang dari pagi dan petangnya.
"kaukah, sekuntum rindu?"
"aku mengenang senyummu meski kalah tiada berhenti. aku menanti suaramu, hingga semua kata tak terdengar lagi. aku merindu tatapmu hingga semua biji-biji hujan yang luruh, mati"
barangkali hanya batu yang menemaniku bicara. yang mengangguk dalam beku, yang menggeleng dalam bisu.
senja merenggang. hilang dikatup tirai malam. kegelapan menyantap hatinya. menggelandang rindunya. mengarungi malam-malam liar tak bertuan. malam bengis yang merepuhkan sepi hingga jera menyalak lagi ~k'sati,kemanggisan~
6 comments:
Jika ia pernah ada anggaplah tiada, kenangan akan sebuah kesempurnaan adalah sangat menyakitkan. Sebagaimana masa-masa indah apabila tlah terlewati terasa mengiris. Barangkali tidak perlu melihat kebelakang lagi. Membuka peluang berbenah dan mungkin masih ada kesempatan disana untuk menemukan hal yang baru, siapa tahu.
"Ada orang pernah bilang akar permasalahan dari seorang adalah memori, tanpa ingatan ia akan selalu menemukan hal baru disepanjang hidup tapi orang yang lain lagi juga bilang, kenangan itu adalah kotak harta yang bisa dibuka kapan saja. Bahkan disaat merasa tak memiliki apapun jua”
Tabea... Met Baku Dapa n Salam Kenal.. Artikelnya bagus-bagus. Thanks,-
aduh paling ngga enak tuh kalo manggil2 orangnya ga denger .... sakit banget
wah saya nyerah (pasrah) kalo ngedepin tulisan begini, pertama, suka salah tafsir, kedua saya memang gak bisa nulis beginian... saking kerennya sehingga tulisan saya jadi macam obrolan para babu dan jongos... :)
"maybe the destination is the goal but the journey is the reward..."
ada beberapa pertanyaan hal yang perlu diperhatikan (dijawab) ketika sebuah panggilan tidak terjawab.
1. apakah suaranya sudah keras hingga dia 'mendengar'?
2. apakah kata2nya sudah pas sehingga dia mau 'mendengarkan' ?
3. apakah ia sudah dari hati, sehingga hatinya juga mendengar, kemudian tergerakkan untuk menjawabnya?
Enak banget bacanya...jadi kebawa...
Post a Comment